Menang Tanpa Ngasorake
Mungkin kita sudah lupa bagaimana rasanya menjadi pemenang. Timnas kita berkali-kali harus tertunduk malu saat melalui pertandingan puncak di berbagai kompetisi. Dan itu tidak hanya sekali. Di tempat lain, kita bersorak-sorak begitu partai pilihan atau calon presiden idola meraih suara tertinggi. Sesaat kita bisa mencium aroma kemenangan, membayangkan janji-janji para jurkam tentang lapangan pekerjaan yang lebih luas, sekolah murah, harga-harga sembako terjangkau dan lain sebagainya. Tapi, tidak lama kemudian kita sadar bahwa yang menang bukan rakyat Indonesia karena janji-janji itu menguap ruang sidang anggota dewan atau nylempit di bad sector memory pak presiden.
Berpuluh-puluh tahun kita, rakyat Indonesia, tidak pernah menang atas kehidupannya sendiri. Sehingga, kita sampai lupa bagaimana caranya menang!
Kita lupa bahwa caranya menang balapan lari adalah meningkatkan akselerasi dan top speed kayuhan kaki. Tapi, yang kita lakukan bukannya mempercepat kayuhan kaki tapi malah nyenggol sampai jatuh pemain lain.
Kita itu pinginnya muluk-muluk. Presiden harus orang yang suci, tidak punya dosa masa lampau, tidak suka macem-macem, pintar, pandai bernegosiasi, pro rakyat, pekerja keras, visioner, dan semua bentuk kebaikan seorang manusia. Kita adalah paranoid yang tidak siap dipimpin oleh makhluk dari golongan manusia. Maunya punya presiden robot yang terprogram dengan sangat baik, sistematis, dan nggak clelekan! Lalu, hiruk pikuklah mulut kita mengkambing-kambingkan orang lain dengan mulut anjing kita.
Apa yang salah dengan no. 2? Apa yang tidak termaafkan dengan no. 1? Bagaimana kita tahu Jokowi bisa mengangkat harkat kesejahteraan rakyat kecil kalau kita jegal terus kakinya? Bagaimana kita bisa merasakan berdiri di atas tanah bangsa yang berwibawa di mata dunia kalau Prabowo kita sikut terus mukanya?
Bagaimana kita bisa punya presiden yang baik kalau juara sejati balapan lari ini ndlosor duluan sebelum menginjak garis finish?
Ada 3 tingkatan pendekar. Tingkat terendah adalah pendekar yang lihai memainkan senjata dan jurus andalannya untuk mengalahkan musuhnya. Tingkat di atasnya adalah pendekar yang tanpa menyentuh atau bahkan tanpa berkelahi dengan musuhnya sudah menang. Dan tingkatan tertinggi adalah pendekar yang tidak pernah menang, tapi juga tidak pernah kalah, karena dia tidak mau mencari musuh.
Seorang pendekar sejatinya adalah pekerja kebaikan. Pendekar sejati tidak pernah memenangkan dirinya karena seharusnya yang menang adalah kebaikan. Dan tidak ada kebaikan yang dimenangkan dengan jalan menghinakan keburukan.
Jika kita yakin masih masuk dalam golongan makhluk yang bernama manusia, maka kita harus ikhlas bahwa sebagus-bagusnya presiden yang terpilih nanti pasti dia punya cacat. Dengan begitu kita juga harus rela mengakui, seburuk-buruknya calon yang kalah, pasti dia memiliki kebaikan yang tidak dimiliki oleh sang pemenang.
Jokowi orang baik, Prabowo juga baik. Saya berharap mereka akan duduk di satu meja untuk bersama-sama menata Indonesia yang lebih baik.
Mari berlomba dengan penuh suka cita tanpa ada musuh-musuhan atau jegal-jegalan. Karena siapapun yang menginjak garis finish duluan nanti, dialah pendekar yang menang tanpa ngasorake. Menang tanpa merendahkan.
Re-post: https://indonesiana.tempo.co/read/17701/2014/06/16/kebogiraz/menang-tanpa-ngasorake
Comments
Post a Comment