Hal-Hal Sepele yang menjadi PEMBELAJARAN...
Seorang anak merasa marah dan tidak suka tinggal di rumah. Dia merasa ayahnya terlalu cerewet karena selalu menasihati dan ‘ngomel’ untuk hal2 sepele yang dia lakukan:
"Kamu meninggalkan kamar tanpa mematikan AC" ;
“TV menyala di ruang tengah, tapi ga ada yg menonton. Ayo matikan!" ;
"Kalau keluar masuk rumah, tutuplah pintu dengan benar” ;
"Bersikaplah jujur selalu, jawablah semua pertanyaan apa adanya tanpa ragu dan harus berbohong.." ;
" Kalau bisa berbagi dengan adikmu, kenapa mesti berebut sih.." dsb.
Sang anak merasa tidak suka, dan dia merasa selalu salah sehingga ayahnya kerap mengomeli dia untuk hal2 sepele spt itu.
Sampai suatu hari dia beranjak dewasa dan mendapat panggilan untuk melakukan interview.
“Kalau saya mendapatkan pekerjaan ini, saya punya penghasilan sendiri dan akan meninggalkan rumah ini. Tdak ada lg ayah yg cerewet" begitu pikirnya.
Ketika tiba di tempat interview, dia mendapati sebuah Kantor dengan halaman yg begitu luasnya. Dia memperhatikan bahwa tidak ada penjaga keamanan di halaman kantor tersebut. Meskipun pagarnya terbuka, dia melihat slot kuncinya menonjol keluar dan orang bisa tersangkut jika masuk melalui pagar tsb. Dia membereskan slot kunci tsb dengan benar, menutup pintu pagar dan berjalan masuk.
Jalan setapak itu dihiasi taman dengan tanaman bunga di kedua sisinya. Dia melihat air mengalir dari sebuah pipa selang dan tidak terlihat seorang pun bekerja ditaman. Airnya meluap hingga membasahi jalan setapak. Dia mengangkat selang tersebut, mematikan keran, merapikan dan meletakkannya di dekat salah satu tanaman sebelum melangkah menuju bangunan kantor.
Memasuki bangunan kantor, tidak ada seorang pun di area resepsionis. Namun terdapat pengumuman yang mengatakan bahwa interview ada di lantai atas.
Saat itu pukul 10 pagi, dan cuaca sangat cerah. Dia melihat lampu depan yang masih menyala. Tiba-tiba dia teringat omelan ayahnya: "Mengapa kamu meninggalkan ruangan tanpa mematikan lampu?" seolah2 omelan tersebut nyata dan terngiang2 di kepalanya. Meskipun merasa jengkel oleh pikiran tersebut, dia tetap mencari saklar dan mematikan lampu depan tersebut.
Tibalah dia di lantai atas yg berupa sebuah aula besar, dimana terlihat banyak calon karyawan duduk menunggu giliran mereka di interview. Dia melihat banyaknya orang tsb dan bertanya-tanya apakah dia masih punya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan itu.
Dia memasuki aula tsb dengan sedikit ragu dan menginjak keset "Selamat Datang" yang ditempatkan di depan pintu masuk aula. Dia memperhatikan bahwa keset itu terbalik. Bagaikan sebuah kebiasaan, dia pun langsung membalikkan keset tsb dan merapikannya.
Di dalam aula dia melihat deretan kursi untuk menunggu giliran wawancara. Sejumlah kipas angin berputar di deretan bangku2 tersebut. Beberapa baris di depan terlihat penuh dengan orang yang menunggu giliran, sementara barisan belakang sudah mulai kosong. Tiba-tiba
dia mendengar suara ayahnya lagi dalam pikirannya "Mengapa kipas angin menyala di ruangan tapi tidak ada orang yang menggunakan nya?" Dia segera mematikan kipas angin yang tidak diperlukan dan duduk di salah satu kursi kosong disana.
Dia memperhatikan orang yang memasuki ruang interview, namun tidak lama segera keluar dari pintu lainnya. Dia jadi bertanya-tanya, tes apa yang ditanyakan dalam interview tersebut.
Kini tiba gilirannya, dan dia segera memasuki ruangan interview dengan sedikit perasaan ragu. Di hadapan nya duduk sang bos yang melakukan interview dan dia segera menyerahkan berkas2 nya. Bos itu mengambil berkas2 lamarannya tersebut dan tanpa melihat langsung bertanya "Kapan Anda bisa mulai bekerja?"
Sang anak berpikir, "Apakah ini pertanyaan jebakan yang ditanyakan dalam interview atau apakah benar saya langsung diterima" dia pun terlihat bingung.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya sang bos. “Kami tidak mengajukan pertanyaan kepada siapa pun di sini. Dengan bertanya kami tidak bisa melihat dan menilai langsung tanggung jawab dan keterampilan seseorang. Tes interview kami menilai sikap dan tanggung jawab. Sebenarnya kami telah memberikan tes tersebut pada semua kandidat dan mengamati semua orang melalui CCTV. Tidak ada seorang pun yang datang hari ini untuk membereskan slot kunci pagar dan menutupnya, merapikan pipa selang dan mematikan airnya, merapikan keset Selamat Datang, mematikan kipas atau lampu yang tidak berguna kecuali anda. Anda adalah satu-satunya pelamar yang melakukan itu. Itu sebabnya kami memutuskan untuk memilih Anda untuk pekerjaan ini” kata sang bos.
Sang anak terdiam. Selama ini dia selalu merasa jengkel terhadap disiplin nasihat dan omelan ayahnya. Sekarang dia baru menyadari bahwa hal tsb lah yang telah memberinya pekerjaan. Kekesalan dan kemarahannya pada sang ayah tiba-tiba sirna.
Dia memutuskan menerima pekerjaan tersebut dan pulang ke rumah dengan bahagia.
Apapun yang dikatakan ayah kepada kita, hanyalah untuk kebaikan kita. Dia melakukan itu untuk membentuk kebiasaan baik bagi kita dan memberi kita masa depan yang cerah!
Batu karang tidak akan menjadi patung yang indah tanpa menahan rasa sakit pahat yang memotongnya.
Agar kita menjadi sebuah patung yang indah, terkadang kita perlu menerima 'pahatan' terhadap kebiasaan dan perilaku buruk yg ada pada diri kita sendiri. Itulah yang dilakukan ayah kita ketika dia mendisiplinkan kita.
Seorang ibu menggendong anaknya di pinggang untuk memberinya makan, memeluknya, dan membuatnya tidur. Tetapi ayah tidak demikian. Dia mengangkat anak itu ke pundaknya untuk membuatnya melihat dunia yang tidak bisa dia lihat.
Ayah bisa menjadi teman ketika kita berusia lima tahun, guru ketika kita berusia sepuluh tahun, atau polisi yang siap menghukum ketika kita berusia sekitar dua puluh tahun, dan dia selalu menjadi petunjuk bagi kita di sepanjang hidupnya.
Tidak ada gunanya menyakiti orang tua kita ketika mereka masih hidup dan mengingat tentang mereka ketika mereka telah pergi.
Perlakukan mereka dengan baik selalu.
Jangan meremehkan nasihat dan hal2 sepele yang mereka ingatkan kepada kita, karena hal-hal itulah yang mungkin akan memberikan kita hidup ketika mereka sudah tak lagi ada bersama-sama dengan kita.
Sumber: MODIS (Motivasi & Bisnis)
"Kamu meninggalkan kamar tanpa mematikan AC" ;
“TV menyala di ruang tengah, tapi ga ada yg menonton. Ayo matikan!" ;
"Kalau keluar masuk rumah, tutuplah pintu dengan benar” ;
"Bersikaplah jujur selalu, jawablah semua pertanyaan apa adanya tanpa ragu dan harus berbohong.." ;
" Kalau bisa berbagi dengan adikmu, kenapa mesti berebut sih.." dsb.
Sang anak merasa tidak suka, dan dia merasa selalu salah sehingga ayahnya kerap mengomeli dia untuk hal2 sepele spt itu.
Sampai suatu hari dia beranjak dewasa dan mendapat panggilan untuk melakukan interview.
“Kalau saya mendapatkan pekerjaan ini, saya punya penghasilan sendiri dan akan meninggalkan rumah ini. Tdak ada lg ayah yg cerewet" begitu pikirnya.
Ketika tiba di tempat interview, dia mendapati sebuah Kantor dengan halaman yg begitu luasnya. Dia memperhatikan bahwa tidak ada penjaga keamanan di halaman kantor tersebut. Meskipun pagarnya terbuka, dia melihat slot kuncinya menonjol keluar dan orang bisa tersangkut jika masuk melalui pagar tsb. Dia membereskan slot kunci tsb dengan benar, menutup pintu pagar dan berjalan masuk.
Jalan setapak itu dihiasi taman dengan tanaman bunga di kedua sisinya. Dia melihat air mengalir dari sebuah pipa selang dan tidak terlihat seorang pun bekerja ditaman. Airnya meluap hingga membasahi jalan setapak. Dia mengangkat selang tersebut, mematikan keran, merapikan dan meletakkannya di dekat salah satu tanaman sebelum melangkah menuju bangunan kantor.
Memasuki bangunan kantor, tidak ada seorang pun di area resepsionis. Namun terdapat pengumuman yang mengatakan bahwa interview ada di lantai atas.
Saat itu pukul 10 pagi, dan cuaca sangat cerah. Dia melihat lampu depan yang masih menyala. Tiba-tiba dia teringat omelan ayahnya: "Mengapa kamu meninggalkan ruangan tanpa mematikan lampu?" seolah2 omelan tersebut nyata dan terngiang2 di kepalanya. Meskipun merasa jengkel oleh pikiran tersebut, dia tetap mencari saklar dan mematikan lampu depan tersebut.
Tibalah dia di lantai atas yg berupa sebuah aula besar, dimana terlihat banyak calon karyawan duduk menunggu giliran mereka di interview. Dia melihat banyaknya orang tsb dan bertanya-tanya apakah dia masih punya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan itu.
Dia memasuki aula tsb dengan sedikit ragu dan menginjak keset "Selamat Datang" yang ditempatkan di depan pintu masuk aula. Dia memperhatikan bahwa keset itu terbalik. Bagaikan sebuah kebiasaan, dia pun langsung membalikkan keset tsb dan merapikannya.
Di dalam aula dia melihat deretan kursi untuk menunggu giliran wawancara. Sejumlah kipas angin berputar di deretan bangku2 tersebut. Beberapa baris di depan terlihat penuh dengan orang yang menunggu giliran, sementara barisan belakang sudah mulai kosong. Tiba-tiba
dia mendengar suara ayahnya lagi dalam pikirannya "Mengapa kipas angin menyala di ruangan tapi tidak ada orang yang menggunakan nya?" Dia segera mematikan kipas angin yang tidak diperlukan dan duduk di salah satu kursi kosong disana.
Dia memperhatikan orang yang memasuki ruang interview, namun tidak lama segera keluar dari pintu lainnya. Dia jadi bertanya-tanya, tes apa yang ditanyakan dalam interview tersebut.
Kini tiba gilirannya, dan dia segera memasuki ruangan interview dengan sedikit perasaan ragu. Di hadapan nya duduk sang bos yang melakukan interview dan dia segera menyerahkan berkas2 nya. Bos itu mengambil berkas2 lamarannya tersebut dan tanpa melihat langsung bertanya "Kapan Anda bisa mulai bekerja?"
Sang anak berpikir, "Apakah ini pertanyaan jebakan yang ditanyakan dalam interview atau apakah benar saya langsung diterima" dia pun terlihat bingung.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya sang bos. “Kami tidak mengajukan pertanyaan kepada siapa pun di sini. Dengan bertanya kami tidak bisa melihat dan menilai langsung tanggung jawab dan keterampilan seseorang. Tes interview kami menilai sikap dan tanggung jawab. Sebenarnya kami telah memberikan tes tersebut pada semua kandidat dan mengamati semua orang melalui CCTV. Tidak ada seorang pun yang datang hari ini untuk membereskan slot kunci pagar dan menutupnya, merapikan pipa selang dan mematikan airnya, merapikan keset Selamat Datang, mematikan kipas atau lampu yang tidak berguna kecuali anda. Anda adalah satu-satunya pelamar yang melakukan itu. Itu sebabnya kami memutuskan untuk memilih Anda untuk pekerjaan ini” kata sang bos.
Sang anak terdiam. Selama ini dia selalu merasa jengkel terhadap disiplin nasihat dan omelan ayahnya. Sekarang dia baru menyadari bahwa hal tsb lah yang telah memberinya pekerjaan. Kekesalan dan kemarahannya pada sang ayah tiba-tiba sirna.
Dia memutuskan menerima pekerjaan tersebut dan pulang ke rumah dengan bahagia.
Apapun yang dikatakan ayah kepada kita, hanyalah untuk kebaikan kita. Dia melakukan itu untuk membentuk kebiasaan baik bagi kita dan memberi kita masa depan yang cerah!
Batu karang tidak akan menjadi patung yang indah tanpa menahan rasa sakit pahat yang memotongnya.
Agar kita menjadi sebuah patung yang indah, terkadang kita perlu menerima 'pahatan' terhadap kebiasaan dan perilaku buruk yg ada pada diri kita sendiri. Itulah yang dilakukan ayah kita ketika dia mendisiplinkan kita.
Seorang ibu menggendong anaknya di pinggang untuk memberinya makan, memeluknya, dan membuatnya tidur. Tetapi ayah tidak demikian. Dia mengangkat anak itu ke pundaknya untuk membuatnya melihat dunia yang tidak bisa dia lihat.
Ayah bisa menjadi teman ketika kita berusia lima tahun, guru ketika kita berusia sepuluh tahun, atau polisi yang siap menghukum ketika kita berusia sekitar dua puluh tahun, dan dia selalu menjadi petunjuk bagi kita di sepanjang hidupnya.
Tidak ada gunanya menyakiti orang tua kita ketika mereka masih hidup dan mengingat tentang mereka ketika mereka telah pergi.
Perlakukan mereka dengan baik selalu.
Jangan meremehkan nasihat dan hal2 sepele yang mereka ingatkan kepada kita, karena hal-hal itulah yang mungkin akan memberikan kita hidup ketika mereka sudah tak lagi ada bersama-sama dengan kita.
Sumber: MODIS (Motivasi & Bisnis)
Comments
Post a Comment