Seperti Daniel, Lebih Cerdas, Lebih Kuat...

Saya tidak ingat lagi kapan terakhir kali menulis tentang kebaikan-Nya. Namun satu hal yang sangat saya rasakan hingga saat ini, dalam sebuah dunia yang baru sebagai seorang ayah dan suami, saya tetap melihat betapa setianya Dia dalam kehidupan saya.


Dalam perenungan saya tentang masa depan terutama saat saya merengkuh sunyi tidak dikejar-kejar waktu, ada sebuah kerinduan besar yang kerap kali membuat saya sungguh berharap kepada-Nya. Kerinduan yang juga menjadi doa saya ini makin terasa saat saya melangkah memasuki tahun 2010.

“Tuhan…,” bisik saya dalam hati. “Kiranya Engkau menjadikanku seperti Nabi Daniel, yang tetap teguh mempercayai-Mu, meski orang-orang di sekelilingku atau keadaan justru mengajakku untuk menjauh dan mengingkari-Mu. Kiranya Engkau menjadikanku seperti Nabi Daniel, yang meski hidup dalam keterbatasan saat dalam pembuangan di Babel, tetap bercahaya, lebih cerdas dan lebih kuat, di antara orang-orang yang tidak percaya.

Kerinduan ini mungkin tidak lepas dari kenyataan bahwa saya hidup sebagai minoritas di tengah-tengah bangsa ini. Saya sudah melihat begitu banyak orang meninggalkan imannya kepada Kristus karena uang, jabatan, karir, pasangan hidup, atau cuma ingin cari selamat. Saya sudah melihat betapa orang-orang yang mengaku Kristen tidak hidup menjadi terang dan menjadi sama dengan dunia ini, lewat caranya berpikir, berbicara, bergaul, atau gaya hidupnya.

Saya tidak tahu darimana datangnya kerinduan tentang Nabi Daniel ini, namun setiap kali saya melihat kedua anak saya yang masih kecil, melihat mereka tersenyum kepada saya, hati saya masuk dalam posisi berdoa dengan kerinduan ini.

Mungkin kerinduan ini juga berangkat dari kenyataan bahwa usia saya terus bertambah namun saya merasa seperti berjalan di tempat dalam menyongsong masa depan. Saya tidak mau begini-begini saja sepuluh tahun ke depan. Saya ingin banyak orang melihat bahwa kebesaran Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub, semakin terpancar lewat kehidupan saya. Entah bagaimana caranya atau lewat jalur apa, saya cuma bisa berdoa.

Saya menyadari, di tengah kelebihan-kelebihan saya, banyak pula kelemahan saya. Sering kali, kelemahan-kelemahan itu membuat saya bertanya, “Mampukah saya melakukan itu, menjadi seperti itu?” Di sisi lain, saya menyadari, sampai usia saya yang sudah berkepala tiga ini, ada begitu banyak berkat yang sudah Dia berikan kepada saya. Yang paling dekat dan paling saya syukuri adalah kehadiran isteri dan anak-anak dalam kehidupan saya.

Belum lagi hal-hal sepele yang karena bersifat rutin menjadi jarang saya syukuri. Saya masih bisa memberi ; masih bisa sehat ; dijagai dari marabahaya saat berkendara ; masih bisa menikmati indahnya hujan, pepohonan, alam sekitar ; masih bisa bekerja sekecil apapun pekerjaan itu ; masih bisa makan ikan teri, sekali-kali makan enak, pesan pizza, pesan ini itu ; masih bisa menambah ilmu lewat buku dan internet ; masih bisa mencuci mobil ; masih bisa naik turun tangga ; ada banyak hal yang patut saya syukuri kalau saya mau menghitung-hitung berkat yang sudah saya terima.

Seiring dengan bertambahnya usia saya, untuk berkat-berkat-Nya, saya ingin panjatkan sebuah doa kepada-Nya…

Bapa…

Saya tahu sering mengecewakan-Mu
Saya tahu sering mengabaikan suara-Mu
Terima kasih Kau tetap sabar dan senantiasa setia memenuhiku dengan cinta-Mu
Terima kasih Kau tetap membawaku kembali ke jalan yang benar

Betapa besar Kau Tuhan, anak domba Allah, yang awal dan yang akhir
Kaulah sumber kuatku perancang masa depanku
Aku serahkan semuanya, kerinduanku, cita-citaku, keluargaku,
ke dalam tangan-Mu…

Terima kasih untuk Firman-Mu,
“Tetapi kamu yang takut akan nama-Ku,
bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya.
Kamu akan keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang.”

Amin.

Comments

Popular posts from this blog

FILOSOFI HIDUP IKAN SALMON

Filosofi Air...

Mengapa Para Pekerja Kantoran atau Pekerja Kerah Putih (White-Collar Worker) "cuek" terhadap RUU Omnibus Law?